7/26/2007

Melancarkan Urusan Kepabeanan dengan EDI

Salah satu produsen sepeda motor nasional, yang pabriknya berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, sempat menghentikan proses produksinya. Pasalnya, karena salah satu komponen yang diimpornya terpaksa ngendon di pelabuhan Tanjung Priok. Salah seorang petinggi industri itu menuturkan bahwa penyebab dari keterlambatan tersebut adalah lambannya proses kepabeanan pelabuhan bersangkutan. Peristiwa ini terjadi hampir setahun lalu.

Beberapa bulan silam, cerita mengenai keterlambatan pengiriman barang pun berulang. Mendadak pasar telepon selular menaikkan harga jual produk-produknya. Alasannya pun klise, yaitu keterlambatan pasokan barang akibat proses kepabeanan. Ditambah dengan bumbu bahwa pabean sedang sibuk-sibuknya melakukan kalkulasi ulang akibat penerapan tarif bea masuk baru.

Terlepas dari benar atau tidaknya, cerita semacam ini bisa dikatakan klise. Namun esensinya, setiap hambatan yang terjadi di pintu gerbang masuk atau keluar negeri ini akan membebani dunia usaha. Produsen sepeda motor seperti di atas mau tidak mau harus menghentikan proses produksi selama hampir satu bulan, hanya karena keterlambatan pasokan komponennya. Kondisi semacam ini jika terus-menerus berlangsung tentu akan merugikan negeri ini di mata para investor, baik lokal maupun asing. Akibatnya, investor cenderung enggan menanamkan modalnya di negeri yang perekonomiannya sudah nyaris hancur luluh.

Bayangkan saja, berapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh produsen sepeda motor. Produsen semacam itu tidak bisa menaikan harga jual produknya seenak sendiri. Pasar sepeda motor domestik memang sedang marak-maraknya, namun itu tidak berarti jauh dari pertarungan bisnis. Justru dalam pasar sepeda motor domestik, pertarungan sangat ketat. Setiap keterlambatan akan bisa menimbulkan kerugian, dan dalam jangka waktu tertentu akumulasi kerugian bisa menyeret perusahaan ke jurang kebangkrutan. Ketika perusahaan bangkrut, puluhan bahkan ratusan pekerjanya kehilangan pekerjaan dan nafkah yang menghidupi diri dan keluarganya.

Mata rantai, dan dampak negatifnya, seringkali dilupakan begitu saja. Arus reformasi nampaknya tidak bisa menembus dinding birokrasi negeri ini. Apalagi, birokrasi di negeri ini telah menjadi money machine yang memiliki kepentingan sendiri. Namun, premis tadi tidak seluruhnya benar. Departemen Keuangan, misalnya, telah melakukan berbagai upaya yang mengarah pada perbaikan kinerja pelayanan publiknya. Ditjen BC, misalnya, telah mengimplementasikan Electronic Data Interchange (EDI) di kawasan pelabuhan Tanjung priok, Jakarta. Pelabuhan laut tersibuk di negeri ini, nampaknya menjadi pilot project melakukan lompatan jauh ke depan dalam layanan kepabeanan.

Bisa dikatakan bahwa implementasi EDI merupakan goodwill dari pemerintah. Ini seperti yang dikatakan oleh Drs. Endang Tata, Kepala Kantor Wilayah IV Jakarta dari Ditjen BC. “Ini komitmen Ditjen Bea dan Cukai sebagai anggota World Customs Organization (WCO) sebagai salah satu upaya pencapaian visi guna menyejajarkan diri dengan institusi kepabeanan dan cukai dalam kinerja dan citra”.

Menurutnya, penerapan EDI, sekalipun masih dalam tahap uji coba, telah memperoleh dukungan dari berbagai perusahaan pelayaran nasional. Hingga November lalu, tercatat sekitar 140 perusahaan pelayaran yang bergabung untuk memanfaatkan jasa layanan ini. Bagi pelaku bisnis, terutama eksportir dan importir, implementasi EDI akan membentuk sistem pelayanan yang lebih terintegrasi. Sistem ini memungkinkan pertukaran dokumen secara elektronik dengan berbagai pihak terkait. “Itu sebabnya saya optimis bisa tercapainya penyederhanaan pelayanan dan pemberian kemudahan bisa terwujud di masa depan,” ujar Endang.

Sebenarnya, implementasi EDI tidak terjadi secara mendadak di lingkungan Ditjen Bea dan Cukai. Sistem ini sebenarnya hanya merupakan pengembangan dari Custom Fast Release System (CFRS) yang telah diterapkan sebelumnya. Hanya saja sistem ini masih dilakukan secara manual, yang mana disket dan pengguna jasa masih harus antri di loket untuk bisa mengetahui penyelesaian dokumen secara keseluruhan. Dengan EDI, pengguna jasa tidak perlu mengantri ke loket namun cukup dengan mempergunakan komputer yang dimilikinya untuk menyampaikan data impor maupun ekspor secara eletronik.

EDI sendiri bukan merupakan konsep yang revolusioner. Ketika IT dan telekomunikasi telah berkembang sedemikian rupa, teknologi EDI dimungkinkan untuk berevolusi menjadi wahana data carrier yang menggantikan lembaran kertas dokumen. EDI sendiri sebenarnya telah tumbuh dan berkembang lebih dari dua dekade lalu di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Umumnya, industri yang memanfaatkan EDI adalah industri dengan produk yang memiliki lifecycle tidak panjang, namun dengan volume produksi sangat besar.

Markus A. Straub, Senior Techincal Advisor PT Niarta JasaNet, melihat bahwa EDI merupakan bentuk e-Business tertua. Ia menceritakan bahwa industri otomotif merupakan salah satu pengguna awal sistem EDI di kawasan Eropa Barat. Ia mencontohkan Volkswagen yang sudah menerapkan sistem ini sejak pertengahan dekade tujuhpuluhan.

Saat itu, produsen otomotif ini menggunakannya untuk melayani keperluan back office-nya. “Itu sebabnya EDI lebih fit in untuk keperluan serupa di banyak industri,“ ujar Markus. Dengan menggelar EDI di back office, masalah supply chain management (SCM) bisa teratasi. Order pemesanan komponen yang harus dipasok supplier dilakukan melalui sistem ini, dan setiap order yang dikirim atau diterima dianggap sudah sebagai dokumen legal dan otentik sifatnya.

Dengan mengimplementasikan EDI, sejumlah keuntungan strategis antara lain siklus perdagangan yang lebih cepat, kemampuan mengadopsi proses bisnis baru seperti teknik manufakturing just-in-time, dan kemampuan untuk memenangkan kompetisi bisnis atau mempertahankan pelanggan lama akan mengarah pada peningkatan efisiensi bisnis. Di samping juga bertambahnya kemampuan untuk merespon ketatnya persaingan pasar dan pesaing-pesaing baru yang sangat kompetitif.

Keuntungan operasional yang dapat dinikmati antara lain adalah pengurangan biaya kertas, pengiriman, pengadaan barang dan proses manual; memperbaiki cash flow perusahaan; dan pengurangan tingkat kesalahan sekaligus peningkatan keamanan.

Di sisi lain, implementasi EDI juga memberikan keuntungan dengan meningkatkan citra perusahaan, memperbaiki daya saing, dan meningkatkan hubungan dagang perusahaan yang sudah ada.

Keuntungan-keuntungan strategis, operasional dan peluang yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan multinasional tersebut, ternyata juga mengundang minat negara dalam rangka penyelenggaraan negara secara lebih efisien. Tidak heran bila kemudian Ditjen BC juga melirik untuk menerapkan di lingkungannya.

Menurut Endang, ada sejumlah keuntungan yang ditawarkan dengan mengimplementasikan EDI di lingkungan Ditjen BC. Keuntungan tersebut meliputi, pertama, percepatan pelayanan dan peningkatan akurasi sehingga arus barang masuk maupun keluar dapat berjalan lancar. Kedua, mempersingkat penyelesaian dokumen. Ketiga, mengurangi atau mencegah adanya pertemuan antara pengguna jasa dengan petugas BC. Keempat, memperpendek jalur birokrasi. Kelima, mempersingkat waktu dan mengurangi kegiatan pemeriksaan fisik.

Sistem EDI kepabeanan di bidang impor, menurutnya, sudah diimplementasikan secara penuh. “Jadi bukan tahap ujicoba”, katanya. Memang diakuinya sistem ini masih terbatas pada lingkungan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok dan Bandara Soekarno-Hatta.

Keterbatasan itu dikarenakan belum semua institusi yang terkait dengan prosedur kepabeanan bergabung dengan sistem EDI yang digunakan oleh Ditjen BC. Hal tersebut bisa jadi menghambat kelancaran pengurusan dokumen, misalnya belum adanya akses antara kalangan perbankan dengan Ditjen BC. Missing link ini membuat pengiriman bukti pembayaran (Credit Advice) tidak diterima saat importir mentransfer data ke Bea Cukai. Akibatnya, importir terpaksa harus membawa terlebih dahulu bukti pembayarannya kr bank, setelah itu proses dokumen dapat dilanjutkan kembali.

Untuk mengatasi permasalahan ini dilakukan dengan cara mensosialisasikan dan pelatihan ke kalangan bank devisa persepsi. Di samping itu, Ditjen BC juga gencar mengadakan pelatihan ke berbagai pelaku usaha yang terkait dengan kegiatan kepabeanan. Hingga hari ini, sudah 140 perusahaan pelayaran dan keagenan pelayaran yang ikut bergabung ke dalam sistem EDI kepabeanan. Ditjen BC juga proaktif melakukan pendekatan ke berbagai instansi pemerintah terkait, seperti Pelindo II yang sedang mempersiapkan EDI pelayanan operasional dan nantinya bisa diharapkan interkoneksi dengan sistem EDI kepabeanan yang telah ada.
www.ebizzasia.com

No comments: